SLBN 2 Konawe: Perjuangan Tanpa Lelah di Balik Keterbatasan, Mendidik dengan Hati
![]() |
Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 2 Konawe |
"Kami mengajar dengan hati. Setiap perkembangan kecil dari anak-anak ini adalah kebahagiaan bagi kami,"
UNAAHA (mediakonawe.com)
Di balik jalan berliku, hamparan sawah, dan perkebunan sawit yang jauh dari keramaian di Kelurahan Andabia, Kecamatan Anggaberi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, sebuah sekolah berdiri tegak sebagai mercusuar harapan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 2 Konawe—dengan 28 siswa yang memiliki beragam kondisi, mulai dari tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, hingga autis—membuktikan bahwa pendidikan adalah hak semua anak, tak peduli seberat apa pun tantangannya.
Namun, perjuangan para guru di sini tak semudah mengucap kata. Mereka harus berhadapan dengan lokasi yang terisolasi, fasilitas serba terbatas, dan tantangan besar dalam mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus. Bahkan, demi memastikan murid-muridnya bisa belajar, beberapa guru rela menjadi "supir dadakan," menjemput anak didik yang rumahnya tersebar di berbagai kecamatan, seperti Konawe dan Unaaha, dengan jarak tempuh hingga 8 kilometer.
Sekolah di Ujung Isolasi, Guru yang Jadi Pengemudi
SLBN 2 Konawe terletak di daerah yang nyaris terpencil. Jalan yang sulit dilalui dan jarak tempuh yang jauh membuat banyak siswa kesulitan datang sendiri. Tanpa kendaraan operasional sekolah, para guru terpaksa menggunakan kendaraan pribadi untuk mengantar-jemput murid.
"Kami tidak punya kendaraan dinas. Kalau tidak dijemput, banyak siswa yang tidak bisa datang," ujar Yafsin Yaddi, S.Pd., M.Sos, Kepala Sekolah SLBN 2 Konawe. "Ada yang rumahnya di Kecamatan Konawe, bahkan Unaaha. Setiap hari kami harus bolak-balik." jarnya kepada awak media, Senin (14/4/2025)
Dengan hanya 10 tenaga pengajar yang kadangkala juga merangkap sebagai staf, mereka harus mengajar dengan metode khusus sesuai kebutuhan siswa. Yang lebih mengejutkan, di SLBN 2 Konawe, hanya kepala sekolah yang berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara), sementara guru-guru lainnya berstatus honorer atau sukarelawan. Namun, semangat mereka tak pernah pudar.
"Kami mengajar dengan hati. Setiap perkembangan kecil dari anak-anak ini adalah kebahagiaan bagi kami," tambah Yafsin.
Fasilitas Minim, Semangat Belajar Tak Pernah Surut
Meski sarana terbatas, SLBN 2 Konawe—yang menyandang Akreditasi A Plus tahun 2025 dan meraih penghargaan "Sekolah Sehat" dari Kemendikbudristek tahun 2024—terus berupaya memberikan pendidikan terbaik. Sekolah ini memiliki jenjang setara SD, SMP, dan SMA, tetapi fasilitasnya masih jauh dari memadai.
"Kami membutuhkan alat peraga, alat terapi, dan yang paling mendesak adalah kendaraan antar-jemput," kata Asmudin, salah seorang staf yang kadang merangkap jadi guru. "Jika ada bantuan dari pemerintah, baik kabupaten maupun provinsi, itu akan sangat meringankan beban kami."
Beberapa siswa bahkan harus belajar di ruangan yang belum memenuhi standar ideal untuk pendidikan khusus. Namun, hal itu tak menyurutkan semangat mereka.
Harapan di Tengah Keterbatasan
Meski berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara (Diknas Sultra), SLBN 2 Konawe berharap pemerintah Kabupaten Konawe turut memperhatikan nasib mereka. Salah satunya adalah Program Makan Bergizi Gratis yang diluncurkan pemerintah pusat, yang dinilai sangat dibutuhkan siswa.
![]() |
Yafsin Yaddi, S.Pd., M.Sos, Kepala Sekolah SLBN 2 Konawe |
"Kami ingin anak-anak ini bisa mandiri suatu hari nanti. Mereka punya hak yang sama untuk belajar dan berkembang," ujar Yafsin. "Tapi kami butuh dukungan lebih, terutama transportasi dan tenaga pengajar tambahan."
Di balik segala keterbatasan, SLBN 2 Konawe tetap menjadi simbol harapan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Perjuangan para guru di sini adalah bukti nyata bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar wacana, melainkan aksi nyata yang dilakukan dengan ketulusan dan dedikasi.
"Mereka mungkin berbeda, tetapi mimpi mereka sama: belajar, tumbuh, dan meraih masa depan."
(Laporan: Jems)